Menganalisa Aktor dan Korban Teror

Oleh: Dwi Hardianto

Terorisme memiliki tiga komponen, yaitu pelaku (teroris), tindakan, dan sasaran. Sejak Bom Bali hingga saat ini, hampir semua pihak mengidentifikasi pelaku teror di Indonesia sebagai Muslim. Akibatnya, korelasi (hubungan) antara Islam dan terorisme pun banyak dikaji dengan dua alat/kerangka analisa, yakni  kultural dan rasional.

Kerangka kultural memandang perilaku, sikap, dan perbuatan seseorang/kelompok sebagai penjelmaan dari nilai, sistem kepercayaan, dan ideologinya (Berger, 1995; Ross, 1999). Jadi, alat ini digunakan untuk membuktikan korelasi antara nilai (ideologi) dengan teroris. Karenanya, ajaran dan kondisi umat Islamlah yang dianalisa oleh penganut kerangka ini.

Analis yang ekstrim menggunakan kerangka ini adalah Jerry Farwell. Ia mengatakan, ajaran Islam bermuatan terorisme. Kolumnis The New York Times, Thomas Friedman, mempelajari kompleksitas kondisi sosial–politik–religius masyarakat Muslim di negara-negara Islam untuk menganalisa mengapa pemuda Muslim memilih melakukan teror. Meski cukup obyektif, jawabannya tetap menyebut ajaran Islam sebagai sumber teror. 

Kerangka ini memang bisa menelusuri modus teror dengan fokus pada dua hal. Pertama, tindakan teror. Kedua, pelaku teror termasuk nilai dan ideologinya. Tapi alat ini tak bisa menjelaskan pertanyaan berikut. Mengapa sekelompok orang memilih melakukan teror? Mengapa pihak tertentu menjadi sasaran teror? Mengapa teror muncul pada saat tertentu padahal faktor kultural (nilai, sistem kepercayaan, ideologi) sudah eksis berabad-abad. Contoh, jihad sudah dipraktikkan sejak berkembangnya Islam hingga beberapa abad sesudahnya, kenapa baru sekarang dikatakan sebagai sumber teror?

Di sinilah pentingnya penggunaan kerangka rasional. Alat ini memandang perilaku, sikap, dan perbuatan seseorang/kelompok sebagai fungsi dari pilihan di hadapannya (North, 1981; Olson, 1965: Przeworski, 1993). Kerangka ini digunakan untuk menemukan korelasi antara pelaku teror dengan sasaran teror dalam aspek kesamaan–kepentingan, konflik–kepentingan, dan pola interaksi keduanya. Karena itu, sasaran teror dipandang tidak hanya sebagai korban, tapi juga sebagai aktor.

Kerangka rasional berasumsi bahwa teroris dan sasaran teror sama-sama berperan sebagai aktor rasional dan strategis. Disebut rasional karena tindakan keduanya konsisten dengan kepentingan dan tujuannya. Sedangkan strategis, karena tindakan itu dipengaruhi dua hal. Pertama, langkah yang sudah dan akan dilakukan aktor lain (lawannya). Kedua, dibatasi kendala yang ada. Karenanya, alat ini pun digunakan untuk mengeksplorasi kebijakan/langkah yang dibuat oleh teroris dan sasaran teror, serta implikasi kebijakan/langkah itu pada hubungan antara keduanya.

Kerangka rasional pernah diterapkan di Eropa pada 1960-an sampai 1980-an. Saat itu, pengeboman, penculikan, dan pembunuhan menjadi alat perjuangan Red Brigades di Italia, Red Army Faction (RAF) di Jerman, ETA dan GRAPO di Spanyol, serta Irish Republican Army (IRA) di Inggris. Teroris Eropa ini juga melakukan bom bunuh diri, tapi pemerintah dan analis dalam mengkaji tidak semata-mata untuk menemukan korelasi antara teroris dengan Marxism di Itali, Jerman, Spanyol, atau dengan Katholikism di Irlandia dan Inggris.

Pemerintah dan analis Eropa menyadari bahwa korelasi antara nilai (ideologi) yang dianut teroris dengan tindakan terornya, tidak bisa mengungkap penyebab mengapa mereka melakukan teror. Akhirnya, analisa diarahkan untuk mengkaji korelasi antara teroris dengan sasaran teror. Dari korelasi dua aktor inilah ditemukan akar persoalan yang menyebabkan mereka melakukan teror sebagai bentuk “interaksi” dengan pemerintah.

Selain itu, publik Eropa juga menemukan dua kondisi penting mengapa teroris melancarkan teror. Pertama, kondisi yang memunculkan terjadinya teror. Kedua, kondisi yang bisa meredam terjadinya teror. Dengan memahami dua kondisi inilah, pihak berwajib di Eropa membuat kebijakan yang komprehensif untuk mencegah dan menghentikan teror secara permanen. Hasilnya, sampai detik ini Teroris Eropa itu tidak lagi melakukan teror.

Pengalaman ini bisa diterapkan di Indonesia. Agar kita, khususnya pemerintah dan Polri (Densus 88) terbebas dari jebakan paradigma kultural yang bisa ”menyesatkan”. Kenapa menyesatkan? Karena kerangka kultural berasumsi bahwa nilai (ideologi) menghasilkan teror. Padahal, kalkulasi strategis antara pelaku teror dan sasaran teror-lah yang menghasilkan teror. Ini hanya bisa diungkap oleh kerangka rasional.

Sayangnya, hanya segelintir analis ”berani” menggunakan kerangka ini. Dalam batas tertentu mantan Kepala BIN (alm) ZA Maulani menerapkannya untuk menganalisa kasus Bom Bali. Setelah itu, tak ada lagi. Mungkin karena berhitung dengan batas tipis antara dua hal. Dianggap sebagai analis objektif dan rasional, atau dianggap sebagai simpatisan teroris karena menganalisa sasaran teror yang menjadi “korban”. Akibatnya, tabir gelap yang menyelimuti kasus terorisme di negeri ini masih saja gelap hingga detik ini. Walahu’alam. 

Note: Naskah ini sudah ditayangkan Majalah SABILI No 19 TH XVII Maret 2010

Dwi Hardianto, S.Sos

Writer, Editor, Public Relations, Campaign Strategic & Publishing   

Email: dwioke01@gmail.com & dwioke01@yahoo.com 

 

Tinggalkan komentar